Senin, 04 Maret 2013

Lambert Yakin Villa Bisa Kalahkan City

0 komentar


Lambert Yakin Villa Bisa Kalahkan City - Ditilik dari kualitas skuat plus posisi saat ini, jelas Aston Villa bukan tandingan untuk Manchester City yang akan jadi lawan mereka di pekan ke-28 ini. Tapi Paul Lambert tak mau pesimistis dan yakin The Villans bisa mengejutkan City.

Villa saat ini masih berkutat di zona degradasi dengan 18 dengan 24 poin sementara City yang akan dihadapi di Villa Park, Selasa (5/3/2013) dinihari WIB, adalah juara bertahan yang saat ini masih ada di posisi kedua klasemen dengan 56 poin.

Jika Villa nyaris sepanjang musim mengandalkan Christian Benteke, beda halnya dengan City yang punya banyak pemain top seperti Sergio Aguero, Edin Dzeko, David Silva dan Yaya Toure, yang siap menghukum lini belakang Villa, yang musim ini jadi salah satu tim yang paling banyak menderita gol yakni 52 gol.

Namun fakta yang ada tak membuat sang manajer Lambert harus ciut nyali duluan karena ia yakin penampilan Villa kini sudah membaik dan itu ditunjukkan selepas pergantian tahun.

"Saya merasa tim ini menunjukkan perbaikan ketika melawan Arsenal tapi sebenarnya saya sudah melihatnya dalam beberapa pekan terakhir, tapi tetap saja kami tidak mendapat kemenangan," ujar Lambert di Soccernet.

"Itu membuat kami frustrasi, ketika Anda bermain baik dan tidak bisa menang khususnya saat melawan Everton, West Brom dan Swansea," sambungnya.

"Ketika Anda sedang unggul dua gol saat melawan Everton dan West Brom dan Anda tidak menang, atau seperti kebobolan di menit-menit akhir seperti lawan Swansea, itu jelas bikin kami frustrasi."

"Jika Anda bisa mengambil poin maksimal dari laga-laga itu, maka Anda bisa berada di papan tengah dan melawan Arsenal, seharusnya kami bisa mendapatkan satu poin."

Di pertemuan pertama musim ini 17 November lalu, City kalah telak 0-5 di Etihad Stadium. Secara rekor pertemuan di liga, City menang 58 kali sementara Villa 51 kali dengan 38 laga lain berakhir imbang. Kedua tim sudah pasti akan sama-sama ngotot meraih poin penuh di mana Villa untuk keluar dari zona merah sementara City ingin menjaga persaingan dengan Manchester United di puncak.

"Orang-orang sudah menanyakan soal laga melawan Reading serta QPR dan saya bilang pada mereka, 'Apakah kami benar-benar tidak bisa mendapat poin saat melawan Manchester City?".

"Saya tidak melihat dengan cara seperti itu. Kami seperti memberikan kemenangan begitu saja ke City jika kami berpikir seperti itu. Kami ingin mengalahkan Manchester City," tandas Lambert.


----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Baca Juga !

Fantasi CEO ala Profesor Wenger

 

Julukan "profesor" yang disandang Arsene Wenger mulanya datang karena kejeniusannya dalam mengombinasikan keahlian meramu taktik, keberanian menampilkan sepakbola menyerang yang atraktif, kecermatan dalam mempersiapkan tim dengan menggunakan statitistik sampai kepeduliannya pada diet dan nutrisi bagi pemain. Pendeknya: Wenger sebagai tactician.

Kini gelar "profesor" masih dilekatkan pada Wenger, tapi asosiasinya lebih sering merujuk kemahirannya dalam menyeimbangkan neraca keuangan dan mendatangkan keuntungan bagi klub. Pendeknya: Wenger sebagai profesor [honoris causa] di bidang ekonomi sepakbola, sebagaimana para CEO perusahaan-perusahaan besar yang labanya mengkilap kerap mendapatkan gelar kehormatan dari institusi-institusi pendidikan.

Setelah berinvestasi dalam pembangunan stadion baru yang kini bernama Stadion Emirates [mulai ditempati pada 2006], Arsenal dari tahun ke tahun tampil sebagai klub yang sangat mengesankan -- bukan dalam hal prestasi, tapi dalam mengeruk laba. Antara tahun 2004 sampai 2009, misalnya, tim "Gudang Peluru" ini rata-rata menangguk laba sekitar 4,4 miliar poundsterling.

Laba sebesar itu datang bukan hanya dari penambahan jumlah penonton kandang -- Stadion Emirates surplus 22 ribu kursi dibanding Highbury --, tapi juga dari penjualan merchandise, dan terutama dari penjualan pemain (tiap musim selalu ada pemain penting, bahkan kapten tim, yang dijual Wenger ke klub rival), hak siar televisi dan "hadiah" yang didapat dari UEFA untuk setiap kemenangan yang didapat di Liga Champions.

Mereka menjual Nicolas Anelka, Marc Overmars, Emmanuel Petit, Henry, Fabregas, Vieira, Kolo Toure, Robin van Persie, Emmanuel Adebayor, Flamini, Alexander Hleb, Samir Nasri, Song, Ashley Cole sampai Gael Clichy. Kebanyakan dari mereka dijual saat masih dalam usia emas. Dan beberapa di antara mereka bahkan dijual ke klub yang menjadi rival mereka dalam perebutan gelar juara Liga Inggris -- misal: Ashley Cole ke Chelsea, Adebayor-Nasri-Clichy ke Manchester City, Robin van Persie ke United.

Penjualan pemain macam itu bisa dibilang berbanding lurus dengan evolusi Wenger sebagai profesor tactician menjadi profesor (honoris causa) ekonomi sepakbola. Evolusi Wenger itu pula yang membuat target tetap lolos zona Liga Champions jauh lebih utama ketimbang menjuarai Piala FA atau Piala Carling -- tak peduli sudah bertahun-tahun suporter Arsenal tak lagi mencicipi kejayaan. Pemasukan yang masuk ke kas Arsenal di Liga Champions jauh lebih menggiurkan ketimbang "trofi-trofi Mickey Mouse" macam itu.

Inilah yang membuat Arsenal menerima kritik yang bertubi-tubi terkait mentalitas pengelolaan klub. Kenny Dalglsih, dalam salah satu artikel yang ditulisnya di Daily Mail, menyebut penjualan van Persie ke Manchester United seakan sebagai pengakuan bahwa Arsenal ada di bawah level United. Penjualan itu seakan jadi isyarat betapa Arsenal "tak tertarik" untuk mendapatkan trofi Liga Inggris.

Wenger mencoba menepis kritik itu dengan mulai aktif di bursa transfer dengan membeli pemain-pemain jadi, dari mendatangkan Per Mertesecker, Thomas Vermaelen di lini belakang, Mikel Arteta dan Alex Oxlade-Chamberlain di lini tengah sampai Oliver Giroud dan Lukas Podolski di lini depan. Tapi pembelian itu pun tak urung mendapatkan kritikan sebagai panic buying, tanggung dan setengah-setengah.

Maka kekalahan telak 1-3 Arsenal oleh Bayern Muenchen minggu lalu, setelah sebelumnya tersingkir di Piala Carling dan Piala FA serta tersisih dari perebutan gelar juara liga, semakin mempertegas kritik banyak kalangan terhadap mentalitas Wenger dan Arsenal dalam mengarungi kompetisi. Jika Arsenal akhirnya tersingkir di Liga Champions, kritik itu pasti akan makin hebat mengarah ke Wenger dan Arsenal. Akan menjadi bencana besar jika di akhir musim mereka pun tak mampu menembus zona Champions.

Wenger sendiri berdalih bahwa apa yang dilakukannya bersama Arsenal adalah cara paling rasional dalam mengelola klub sepakbola. "Lihatlah. Inggris bangkrut, Eropa bangkrut. Tapi semua orang terus saja berbelanja. Arsenal tidak bangkrut. Itu karena kami menghabiskan dana dengan cara yang lebih bijaksana," ujar Wenger seperti dikutip The Guardian setahun lalu.

Tapi apa sebenarnya yang dimaksud "bijaksana"?

Wenger mungkin paling bijaksana dalam menahkodai sebuah perusahaan sepakbola. Mudah untuk mengatakan betapa yang dilakukan Wenger dengan Arsenal memang lebih sehat ("lebih bijaksana", dalam kosa kata Wenger) ketimbang yang terjadi di Real Madrid, Chelsea, Mancheser City dan United.

"Bijaksana" dalam kosa kata Wenger-ian, tampaknya, lahir dari cara berpikir mengelola sebuah perusahaan, bukan lagi cara berpikir mengelola sebuah klub olahraga yang di dalamnya inheren nilai-nilai klasik mengenai kejayaan, kemenangan, harga diri, kebanggan lokal/komunitas, dll.

Sesungguhnya, apa yang dilakukan Wenger dengan skala yang berbeda-beda juga dilakukan klub-klub lain. Bahkan FC St. Pauli sekali pun, klub yang jadi kultus karena sikap dan padanangan ekonomi-politik suporternya terhadap sepakbola modern, sudah mengalami dilema yang disodorkan sepakbola modern dengan industrialisasinya. Profit adalah paradigma utama sepakbola saat ini. Duit berhamburan di lapangan hijau. Harga tiket makin melambung, gaji dan kontrak pemain makin tinggi, hak siar televisi kian mahal, dll., dkk., etc.

Sorotan kencang terhadap Arsenal ini barangkali karena tidak ada sosok manajer selain Wenger yang sangat artikulatif dalam mengutarakan konsep-konsep dan gagasan klub sebagai perusahaan sepakbola.

Kemampuan Wenger dalam mengartikulasikan ide-idenya itu mungkin sangat meyakinkan, sampai-sampai (sejauh yang saya tahu) tak terdengar perlawanan ideologis berskala massif dari para fans Arsenal. Bandingkan dengan perlawanan para fans Manchester United terhadap Glazer Family -- sampai-sampai fans tradisional mereka bahkan mendirikan klub tandingan, FC United of Manchester. Atau bagaimana para fans Liverpool menggelar kampanye menentang Gillet beberapa tahun lampau.

Inilah yang tampaknya akan menjadi warisan terbesar Wenger dalam sepakbola modern. Dia sudah melampaui level sebagai seorang manajer. Jika di Indonesia masih sangat kepayahan untuk menginisiasi posisi manager-coach, apa yang dilakukan Wenger malah sudah melangkah lebih jauh lagi. Sampai batas-batas tertentu, dia yang kelak bisa disebut sebagai sang pemula peran baru dalam sepakbola: manajer-CEO.

Inilah awal dari evolusi Football Club [FC] menjadi Football Corporate [Manchester United sudah menghilangkan kata "Football Club" di jersey mereka pada musim 1998 saat mereka hendak masuk ke lantai bursa]. Evolusi ini akan membawa berita-berita sepakbola tak lagi tampil di halaman/rubrik olahraga, tapi halaman/rubrik ekonomi-bisnis-finansial.

Jika sudah demikian, game Fantasy Manager pun mungkin akan berevolusi menjadi Fantasy CEO. Dan subjek-subjek yang harus diisi oleh para penikmat game itu pun bukan hanya prediksi starting line-up, tapi juga prediksi jumlah penonton di stadion dan prediksi rating penonton di televisi.
 

Yondaime Copyright © 2013 | Admin By